Mas Cebolang

Kawruh Kejawen (kejawaan) adalah suatu konsep falsafah hidup yang digali terus menerus sepanjang masa. Dimana konsep dasar kawruh (pengetahuan) Jawa adalah laku yaitu pengalaman pribadi sang pencari. Namun kenyataan sekarang opini publik mengatakan bahwa Kejawen identik dengan aliran kepercayaan atau ada yang menganggap Kejawen adalah agama.
Karena sebenarnya kawruh kejawen adalah filosophy hidup yang menyangkut berbagai aspek ide dasar (falsafah) yang terdiri dari 6 falsafah (lain topik). Yaitu konsep dasar tentang hidup itu sendiri sebagai tuntunan hidup di dunia. Disamping itu dalam kesempatan ini akan saya coba sedikit uraikan tentang konsep filoshopi hidup Kejawen dalam ranah ide dasar tentang filsafat hidup yang selain tuntunan hidup di dunia juga ngancik/masuk ke ranah filsafat kehidupan lain yaitu tentang iman dan peradaban. Memang kalau dilihat agak memper dengan konsep dasar agama yaitu faith. Namun yang membedakan adalah Kejawen tidak punya yang namanya kitab suci, namun mengandalkan pada laku menuju ke pencerahan kepribadian yaitu cipta, budi, rasa dan karsa.
Memang bener semua penganut/pencari Kejawen dipaksa harus mencantumkan kolom agama yang direstui di RI dengan memilih kelima agama yang ada. Tidak diperbolehkan mencantumkan Kejawen kalo dilihat dari kaca mata agama-agama yang direstui. Meski tidak mathuk/sesuai orang jawa selalu nrima (menerima) karena memang bukan ranah agama yang dicari. Namun ranah spiritualnya yang dicari. Orang yang berTuhan atau beringsun atau beraku sejati tidak perlu harus mempunyai agama (agama yang direstui). Namun Jawa tidak pernah 100% menolak agama karena memang ide dasarnya adalah Tuhan/Gusti/Ingsun atau apalah konsep sesembahan itu adalah satu. Satu dalam arti tunggal atau majemuk, dan manembah/menyembah adalah laku pribadi dan unik, mungkin bisa berbeda satu dan lainnya. Ini yang membuka peluang Kejawen identik dengan klenik, mistik dan lain-lainnya. Karena memang tidak ada syariat atau ritual baku dalam menyembah cuma ada konsep/ide dasar saja yang tidak mau menggurui karena ide dasar tadi adalah konsep universal yang tidak memandang minoritas dan mayoritas serta mengakomodasi sifat makluk dan manusia yang unik, tidak digebyah-uyah (tidak bisa disamakan satu dan lainnya).

Laku peradaban Jawa didasari pada konsep kesadaran religius spiritualis dimana tujuannya adalah bukan hasil akhir yang dicapainya namun laku yang memperhatikan dan menikmati perjalanan itu sendiri. Bertemu atau tidak tujuannya itu tidak perlu dipersoalkan namun perjalanan laku itu sendiri yang perlu dinikmati. Inilah kenapa Jawa mengadopsi keadaan Owah Gingsir, dimana tujuan dan cara laku bisa berubah dan berbeda setiap saat. Disini akan saya utarakan tentang konsep filosofi iman dan peradaban Jawa yang memuat 5 bahasan kawruh yaitu: adanya Tuhan/Gusti, asal muasal Universe/Alam Semesta, Mitologi Jawa, Peradaban Jawa dan Penanggalan Jawa. Semoga bermanfaat dalam mengarungi samodra kehidupan yang owah gingsir dan tan kena kinaya ngapa ini, suatu jaman yang selalu berubah dan tidak bisa dipastikan.
Rahayu!

1. Gusti (Sesembahan)
Konsep tentang Tuhan/Gusti mencakup konsep tentang siapa yang disembah (sesembahan) dan tentang siapa yang menyembah dan caranya (panembah).
Sebelum datangnya Hindu & Budha banyak yang mengira Jawa menganut faham animisme & dinamisme bahkan ada yang menyebut sebagai polytheisme. Karena memang lain dari konsep yang ada kalau sekarang konsep Jawa ini lebih bisa diartikan ke arah new age atau malah agnostik yaitu dengan bertuhan namun tidak mempercayai atau mengadopsi cerita nabi/malaikat. Karena memang mengedepankan laku pribadi dan menolak adanya konsep malaikat. Seperti yang ditelusuri oleh Prof, Purbacaraka dan juga dalam kitab tamtu panggelaran, dimana konsep awal Tuhan Jawa adalah tunggal/esa yaitu Sang Hyang Tunggal/Sang Hyang Wenang yang merupakan konsep transendent dan Immanent dan Esa.

Setelah Hindu Budha masuk konsep tadi tersingkir dengan adanya Sang Hyang Mahadewa (Bathrara Guru) dilanjutkan dengan jaman Islam dengan masuknya Sang Hyang Adhama dan Sang Hyang Nurcahya dimana Sang Hyang Wenang mengalah dengan menempati posisi di bawah Sang Hyang Adhama. Meskipun dinalar rumit dan mbulet namun dalam keberadaban Jawa yang mengutamakan laku hal tersebut nggak ada masalahnya, karena pada kenyataanya yang nyanthel atau yang melekat dalam sanubari Jawa adalah sebutan Pangeran atau Gusti yang lebih pas dirasa di kalbu Jawa bila menyebutkan konsep Tuhan. Bila menyebut Gusti rasanya mak nyes neng ati, seperti mas Bondan yang menyebut mak nyus dikala mencicipi kuliner yang nikmat.
Inilah konsep kuliner sesembahan Jawa mak nyes, yang memang untuk dirasakan bukan untuk dianalogikan atau direkadaya (dicari-cari) namun diresapi.
Adapun mbah R. Ng. Ranggawarsito dalam bukunya Paramayoga pernah mengutarakan sesebutan sesembahan Jawa antara lain: Sang Hyang Suksma Kawekas, Sang Hyang Suksma Wisesa, Sang Hyang Amurbeng Rat, Sang Hyang Sidhem Permanem, Sang Hyang Maha Luhur, Sang Hyang Wisesaning Tunggal, Sang Hyang Wenanging Jagad, Sang Hyang Maha Tinggi, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Maha Sidhi, Sang Hyang Warmana, Sang Hyang Atmaweda dan lain-lainnya.


2. Panembah
Meskipun Kejawen bukan agama namun memberikan tata-cara atau tuntunan bagaimana mamenbah itu sendiri, namun tidak mengajarkan how  manembahnya. Lebih ke arah why-nya. Why manembah? Adalah memberikan tuntunan laku supaya bener lan pener untuk tujuan hidup yang berguna. Berguna bagi siapa? Ya tentunya awalnya pada diri sendiri setelah itu the universe itu sendiri dalam ikut membangun peradaban dunia melu memayu hayuning bawana membuat cantik yang sudah tercipta cantik. Ada yang mengatakan memayu hayuning bawana adalah sesanti/filosofi yang mokal/tidak mungkin dicapai (sulit). Karena mengurusi diri sendiri dan keluarga, bebrayan saja kadang susah dan tidak sanggup kok mau mengurusi dunia. Inilah yang dulu saya sebut kadohan panjangkamu ngger!, seperti yang tertulis di Wedhatama. Yang disebut memayu hayuning bawana adalah wujud dari asung-tuladha (budi) baik menghidupi atau menjalankan laku pribadi dengan pedoman-pedoman ide dasar Jawa dulu. Contohnya: untuk berbuat demi masyarakat sekitar tidak perlu ikut-ikutan, ikut partai peserta pemilu (aku gak ngajak lho, ini cuma perumpamaan). Namun untuk menjadi pemimpin kita bisa kok membuat (misal mampu) usaha swadaya dan swakarsa yang mengakomodasi masyarakat sekitar, sehingga bisa membantu dalam kehidupannya sehari-hari menyantuni masyarakat yang kurang mampu dan membangkitkan mereka. Rasanya lebih baik dari pada hura-hura politik apalagi dengan embel-embel agama segala. Hasilnya adalah mbel gedhes!

Kembali ke topic, awalnya adalah menyembah/percaya marang diri pribadi dalam menjalankan hidup dengan berdasar falsafah ke 6 dulu dengan puncaknya adalah sembah keharibaan pribadi dengan nitisake pati (memprioritaskan/menuju) sembah mati kembali ke asal muasal. Adapun penjelasan ringkas dari titising pati itu adalah bisa mengembalikan semua bahan pinjaman penyusun hidup kita yang telah diberikan Gusti dengan bener lan pener (dengan benar dan tepat waktu serta tempat). Yang awalnya berupa materi alam semesta kembali ke alam semesta, dan yang berupa materi cahaya serta teja kembali ke sumber cahya dan teja, sedangkan urip (suksma) kembali ke Gusti. Inilah konsep baku jawa yang disebut Sangkan Paraning Dumadi (nanti tak posting kapan-kapan), namun secara singkat bisa dijelaskan bahwa sangkan paraning dumadi itu adalah 3 hal yang perlu diperhatikan yaitu: aku berasal dari mana (lahir), aku mau kemana/ngapain (hidup), akhirnya aku ngapain dan bagimana caranya (mati).

Maka dari itu dalam peradaban Jawa dikedepankan tata cara olah rasa sehingga bukan hasilnya yang dituju namun melakukannya. Contohnya adalah ilustrasi berikut:

Di Jawa ada yang namanya beksan yaitu suatu bentuk tari-tarian, coba diperhatikan tingkah laku penarinya. Untuk nyemplak selendang sang penari kadang harus muter dulu seperti tata cara olah raga melempar martil, namun tidak dengan kekuatan tapi kualitas semplakan yang di cari. Demikian juga untuk tembang/lagu Jawa, ada yang aneh-aneh namun kalau diperhatikan akan mengesankan dengan mengedepankan memayu hayuning bawana tadi. Seperti lagu/tembang Laler Mengeng (lalat berbunyi). Lha wong lalat bunyi kok dibahas! Juga tentang lagu Tebu Rubuh (tebu jatuh) serta suluk dalang. Semua itu adalah memperhatikan konsep natural life yang harmoni.  

Menjalankan sembah sejati tidak hanya urusan lahir, namun sebaiknya dilakukan dan diresapi seperti memahami lagu/tembang laler mengeng diatas. Apa sih indahnya bunyi lalat, apa sih indahnya bunyi air hujan jatuh? Itulah keindahan irama jiwa.


3. Ngelmu Karang
Ilmu sejati adalah ilmu/pengetahuan yang telah diuraikan diatas untuk mencicipi sangkan paraning dumadi, dengan olah rasa/kebatinan.spiritual. Namun ada ngelmu/pengetahuan yang tidak ada sangkut pautnya dengan memayu hayuning bawana atau sangkan paraning dumadi. Namun hanya mengedepankan bagaimana hidup dan menikmati keduniaan yaitu seperti ilmu-ilmu yang disebut ilmu karang (kekarangan = persekutuan). Yang hanya pengin hidup enak dengan kenikmatan dunia seperti kumrubuking iwak, gumrincing ringgit lan kumlerape pupu kuning enaknya makanan, banyaknya harta benda dan nikmatnya paha putih (syahwat). Sehingga banyak ilmu kebatinan yang dipakai untuk mencari kepuasan dunia tersebut seperti pesugihan, aji-aji, jimat, pusaka dan lain-lainnya. Di Wedhatama hal tersebut disentil oleh pengarangnya dengan menyebut kekarangan (bersekutu) dengan bangsa goib adalah tidak benar dan adakalanya bisa mencelakanan/luput saking tujuwan urip.

“Kekerane ngelmu karang, kekarengan saking bangsaning gaib, iku boreh paminipun, tan rumasuk ing jagad, amung aneng jabaning daging kulub, yen kapengkok pancabaya, ubayane mbalenjani”

Ngelmu karang itu bersekutu dengan gaib, yang seperti itu ibarat boreh (pupur/kosmetik) yang tidak merasuk ke jiwa raga. Tempatnya hanya diluar daging. Bila suatu saat ingin digunakan kadang tidak mumpuni.


Indonesia:
Justru itu, saya sedang berjuang untuk Kejawen tidak pinjam istilah dalam agama islam lagi. Jadi, kita semua mempunyai buatan sendiri. Umumnya kalau Kejawen pinjam istilah dalam agama Islam, jangan harap. Bisa-bisa Kejawen dianggap sesat oleh orang Islam. Buktinya, Kejawen sering disingkirkan oleh Islam, malahan dibasmi oleh Islam. Jangan berharap dan tergantung dari agama lain. Apakah anda ingin kaki anda tergantung dengan kaki orang lain?

Tata cara Agama Kesatuan Republik Indonesia ini tergantung dari diri kita sendiri, jadi ritualnya tidak ada penetepan. Jadi, berdoa juga sesuai yang kita inginkan, cara doanya juga sesuai kita inginkan. Jadi tidak ada penetepan. Memang Kejawen selalu tergantung dengan agama luar negeri ya? Saya prihatin malah begini, datang Hindu, Kejawen menjadi Kejawen-Hindu, datang Kristen menjadi Kejawen-Kristen, datang Buddha menjadi Kejawen-Buddha, datang Islam menjadi Kejawen-Islam, kenapa Kejawen selalu tergantung dengan agama luar negeri? Saya ingin Kejawen itu mempunyai sesuatu sendiri bukan tergantung dengan agama lain. Agama lain sudah mempunyai ritual masing-masing dan mana mau mereka bersatu dengan Kejawen. Mereka ingin berdiri sendiri dan tidak mau bersatu dengan siapa pun.

Anda berpikir saja Islam-Buddha tidak akan ada di dunia ini yang seperti itu. Islam ingin berdiri sendiri, Buddha ingin berdiri sendiri. Seharusnya Kejawen juga berdiri sendiri. Soal Buku Suci, saya sudah membuatnya dan pemimpinnya adalah saya dan saya yang bertanggung jawab atas agama-agama buatan Indonesia maupun Kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim dll. Makanya saya harap Kejawen sadar bahwa Kejawen itu tidak diharapkan oleh agama-agama dari luar negeri. Jangankan harapkan mereka mau berdekatan dengan Kejawen kecuali Agama Kesatuan Republik Indonesia.

Shony:
[[Soal Buku Suci, saya sudah membuatnya dan pemimpinnya adalah saya dan saya yang bertanggung jawab atas agama-agama buatan Indonesia maupun Kejawen, Sunda Wiwitan, Parmalim dll]]
Mas Indonesia saya sangat setuju dengan anda, jarang saya menemukan postingan, tulisan, komentar sepertt yang mas Indonesia tulis. Salam!

Tiang nem:
Agama iku ugeman, gegaman, ageman, kalau kita pakai ageman dari negara lain, kapan bisa kembali ke jati diri, ya tooo? Kapan bisa menjadi Majapahit lagi? Kapan bisa sejajar dengan China ataupun India bahkan Jepang? Mereka bangga jadi diri mereka dengan agama dan budaya mereka sendiri! Kita? Wong Jowo tapi kok gak njawani! Wong Jowo tapi nggawe ageman wong Arab, wong Jowo minder nek kasebut kejawen! Katanya mau kembali ke jati diri. Aneh….!!!
Matur nuwon dumateng Mas Kumitir ugi Wong Alus mugi media meniko saget nggugah tiang jawi ben iso njawani! Wilujeng rahayu!

Bambang:
Sesungguhnya bila saja kebudayan Jawa di ajarkan pada usia dini akan membawa citra bangsa yang lebih dalam. Budi daya Jawa sangat luhur dalam terapan ilmu atau akan membuat prilaku masyarakat menjadi filter kebudayaan asing yang kadang berbenturan dengan budaya daerah.

Abdi:
Kejawen pandangan saya adalah ageuman yang di miliki oleh orang jawa, dalam menghayati hidup, melakoni hidup, tujuan hidup, dan akhir hidup yang sejati. Sedangkan agama adalah aturan yang diadakan/diciptakan untuk mengatur kehidupan manusia dalam satu keteraturan. Kejawen akan sangat bersebrangan jauh bagi pemeluk agama yang hanya berpandangan pada patokan agama yang kaku (syariat), tapi ageuman akan sangat melengkapi dan membantu kepada orang yang berpegang kepada agama (yang percaya akan ke-Esaan Tuhan) untuk memahami agamanya yang sejati, dengan mencoba memahami agama secara kafah, tidak hanya memahami agama dalam segi syariat saja!

Kidipowardoyo:
Poro mitro Wong Jowo. Aku sring oleh piweling soko bapaku : “Le, wis dadio Wong Jowo sing bener. Amargo ora ono wong sing bener lan becik kejobo Wong Jowo. Senadyan bongso monco biso bae dadi Jowo. Ning kosok-baline senajan lahir ing tanah Jowo, kulite sawo-mateng naging ora Jowo, iku dudu Wong Jowo.” Sarehne Bapakku sok nganggo coro Londo, mula dawuhe Wong Jowo iku coro Landane  De Verstandigen. Wong sing gede lan jembar pengertene. Mbok menowo boso Arabe Ulul Albab. Mergo Ulul Albab iku wong sing migunakake pangertene sing waras, ora mung percoyo marang gugon tuhon alias takhayul singora-ora, Wong Jowo iku bahasa Inggrise men of understanding.
Dadi dawuhe bapak: ”Ilmu kejawen sejati iku ora ngajari wong ngobong menyan, ngaji ndremimil opo nganggo jopo montro coro Arab podho wae, yen tanpo pangerten sing genah, bloko, opo maneh wis dadi montro, iku malah wong akal-budine nyasar, ora karuan. Sinauo surasane Aksoro Jowo. Ho no co ro ko, do to so wo lo, po dho jo yo nyo, mo go bo tho ngo, kuwi wis ngemu suroso kang terang welo-welo. Yo iku ono utusan, kabeh menungso iku utusaning Gusti Allah, ono sing bener ono sing olo, olo lan bener terus podho anggone padudon (berselisih). Kamongko loro-lorone podo kuwate, positip karo negatip sing kuwat sing ngendi? Banjur loro-lorone sampyuh, tegese bareng mati (ilang) dadi linggo (netral). Ning sakwise iku mesti bakal thukul maneh positip lan negatip. Yen ono kilat, bledek ngampar ampar iku pertondho sampyuhe positip lan negatip, kahanan banju netral mung sekedep netro. Banjur wiwit thukul maneh positip lan negatip embuh sampek kapan lelakon koyo ngono mau rampunge. Mbok menowo yo sakteruse sampek alam donyo bubar ora ono maneh. Lha kapan rampunge lelakon urip koyo ngono mau, mung Gusti Allah sing Moho Pirso. Wis ngono wae ojo gampang latah banjur melu-melu aliran iki-iku, mundak malah sasar-surur ora juntrung uri. Menungso iku pancen gampang latah, bodo lan wengis. Cobo wacanen al-Qur’an al-Ahzaab Q.S. 33: 72.” Bapakku maos al-Qur’an nanging ora sholat, ora munggah kaji, ning yen wulan Poso melu poso, lan jakat pitrah. Biyen mbah-mbahe agomo Hindu, banjur ketekan penyebar agomo Budho sing akeh ngalih dadi penganut ajaran Budho. Bapak dawuh yen dongane wong Budho iku pancen apik: ”Mugo-mogo kabeh titahe Gusti Allah selamet rahayu, wilujeng.” Coro Landane: ”Mogen alle levende wezens gelukkig zijncoro InggriseMay all life being be happy.Pendongane apik, ora nyosop-nyosopake wong supoyo ciloko mlebu neroko. Mobah mosiko wong agomo iku malah ngobrak-abrik kerukunane manungso banjur podo nyebar dengki-srei, iku ora bener. Mulo gending Jowo Uler Kambang, unine: ”Sae sae sae sae dadose. Jo lali lho moro sebo nyang Gustine.” Dadi wong Jowo iku yo manembah marang Pangeran. Dudu jenise wong atheis. Salah banget yen ngarani wong jowo iku kafir, musyriq, atheis. Banjur podho mlebu dadi komunis, lha sing ngono mau bener-bener fitnah. Firman Allah ing al-Qur’an yo menehe pepenget ing surat al-An’aam Q.S. , Ibrahim Q.S. , 16, 17. “Lan dawuhe Gusti Allah supoyo menungso sing biso moco podo sinauo kabeh Firmane ing kitab-kitab suci samawi supoyo ojo malah podo tambah droko lan tambah kafir. Lan Gusti Allah janji paring rejeki soko nduwur lan ngisor (kecukupan) senadyan orang sugih amblawah dadi milioner.” Ngono dawuhe wong tuaku. Amargo iku mulih ngakal, mulo aku yo banjur ngerti lan percoyo yen opo sing didawuhake, diwelingake swargi Bapakku iku bener. Dadi sing perlu laku utomo. Tembange Nulado laku utomo, tumraping wong tanah Jawi, lan sakteruse. Yo wis ngono wae disik suk disambung maneh. Rahayu! Rahayu! Rahayu! Gusti Allah paring berkat marang kito kabeh. Ojo podho terus cecengilan saben dino, podho golek bener lan kepingin menang dhewe-dhewe. Senadyan mengkono ing keluargaku dhewe, kelakuane durung biso diarani laku utomo. Laku utomo iku ditulis ing al-Qur’an s. asy- Syuuraa Q.S. 42: 43 : Azmil Umuur Golekono dhewe yen pancen niat dadi wong kang becik Dadio Wong Jowo.


Caberawit
[[Namun kenyataan sekarang opini public mengatakan bahwa Kejawen identik dengan aliran kepercayaan atau ada yang menganggap Kejawen adalah agama.]]

Nuwun sewu, mas Cebolang!
Setahu saya, Kejawen itu pernah diperjuangkan untuk diakui sebagai agama, oleh sodara-sodara kita, penganut faham Kejawen di DPR dulu. Namun hal tersebut ditentang habis-habisan oleh muslimer kaffah (mengapa hanya muslim yang menentang?). Berkat perjuangan itu pula-lah, akhirnya pemerintah mengakui aliran kepercayaan berdampingan dengan agama, dan Kejawen digolongkan ke dalamnya. Dan sebetulnya kalau ditinjau lebih jauh, konsep Kejawen sama saja dengan konsep agama, hanya saja sekarang kondisinya berantakan!

[[Memang kalau dilihat agak memper dengan konsep dasar agama yaitu faith. Namun yang membedakan adalah Kejawen tidak punya yang namanya kitab suci, namun mengandalkan pada laku menuju ke pencerahan kepribadian yaitu cipta, budi, rasa dan karsa.]]

Sebetulnya, hal ini pun tidak beda dengan agama-agama lainnya. Munculnya kitab suci dalam agama-agama lain (Kristen, Hindu, maupun Budha) adalah belakangan. Jadi umatnya dulu ada, baru kemudian disusun kitab sucinya. Contohnya, orang-orang Kristiani ada ketika Yesus mulai mengajar. (Orang-orang Kristen sudah ada sebelum kitab sucinya tersusun.) Demikian juga Hindu, umatnya sudah ada, ritualnya sudah ada terlebih dahulu, baru kemudian kitab sucinya tersusun.

Kalo Islam memang beda, karena umat Islam pecaya Qor’an turun dari langit.
Menurut saya, kitab suci Islam, Qor’an, adanya berbarengan dengan pembentukan Umat Islam oleh Muhammad. Karena pada jaman Muhammad, Qor’an-nya (kitabsuci-nya) hidup, bisa makan, bisa bobo, bisa ngesex, yaitu Muhammad sendiri.

Bagaimana dengan Kejawen?
Jelas penganutnya sudah ada (apalagi pada jaman dulu, berjibun!). Hanya saja ada permasalahan pada kitab suci. Seandainya pada waktu itu (th 70-an) pemerintah mau mengakui Kejawen sebagai agama, mungkin kita sudah punya lembaga resmi (seperti Hindu - PHDI, atau Katolik - KWI, dsb.) dan mungkin kitab-sucinya sudah tersusun.

Namun ada permasalahan dalam pembentukan Kitab Suci, yaitu bahwa sebagian besar literatur-literatur Jawa kuna, sudah musnah. Pemusnahan secara sengaja mulai terjadi sejak penyebaran Islam dan runtuhnya kerajaan Majapahit. (Oleh siapa? Tebak aja sendiri...!) Tentu saja hal itu merupakan kerugian yang sangat besar, karena tentunya sangat banyak informasi mengenai Kejawen yang hilang seiring musnahnya literature-literatur Jawa kuna tersebut.

Rahayu!


BAWARASA KAWRUH KEJAWEN

Belajar Kejawen, bukan semata belajar ritual-ritual Jawa tetapi lebih pada belajar mengenai filsafat hidup (falsafah) ala Jawa.

Sebagai manusia-manusia yang hidup (makan, minum, dan beraktivitas) di tanah Jawa, seharusnyalah setiap manusia itu tahu mengenai pandagan hidup tanah yang didiaminya.  Artinya belajar Kejawen adalah suatu keharusan. Tetapi sayang karena bengkoknya pemahaman, Kejawen hanya dianggap sebagai ritual-ritual animisme dan dinamisme tinggalan manusia-manusia prasejarah. Bahkan oleh para penganut Agama-agama Samawi telah dijadikan barang haram yang najis untuk disentuh, padahal merekalah ajaran-ajaran import yang masuk dan menjajah jawa.

Kejawen telah ditinggalkan, Kejawen telah dilupakan, bahkan Kejawen telah dinistakan dan dihinakan sebagai haram jadah yang tidak boleh disentuh sama sekali. Pantaslah kalau sekarang ini banyak orang Jawa yang telah kehilangan kejawaannya (lali jawane) dan bahkan ada yang menolak menjadi Jawa sehingga menjadi perusak tanah Jawa (ora jawa). Tanah Jawa menjadi merana karena tatanannya telah dirusak dan porak- porandakan oleh pemikiran-pemikiran bengkok dan sesat, yang ingin menjadikan Jawa hanya sebagai tanah bukan Jawa sebagai suatu kesatuan kosmos, kesatuan dunia.

Tulisan ini disajikan untuk membuka mata hati dan mata bathin manusia-manusia yang hidup di tanah Jawa dan manusia-manusia keturunan Jawa yang bukan lagi lupa, tetapi menolak dan bahkan menistakan Jawa dan Kejawen sebagai tatanan dan ajaran hidup di atasnya. Tulisan ini hanya sebagian kecil, hanya beberapa butir tanah diantara bermilyar butiran tanah di Tanah Jawa yang tak terhitung jumlahnya. 

Tulisan yang terbatas ini disajikan berdasar secuil pengetahuan penulis dan dilengkapi dengan saduran dan adaptasi dari 2 tulisan dari Majalah Panjebar Semangat, edisi 41 dan 49, tanggal 11 Oktober dan 6 Desember 2008.  Tulisan yang sederhana dan jauh dari sempurna ini mewajibkan siapapun pembacanya untuk memperkaya pengetahuan dan pemahaman mengenai Jawa dan Kejawen dari berbagai sumber yang bisa didapatkannya.  Semoga berkenan dan bermanfaat. Hayu, Hayu, Rahayu.


KAWRUH KEJAWEN

Kawruh Kejawen merupakan filsafat hidup (falsafah) alah Jawa. Saat ini diartikan berbeda oleh banyak orang, Kejawen dianggap sebagai suatu aliran kepercayaan, bahkan dianggap sebagai Agama Jawa.

Kejawen mencakup ide dasar kehidupan, mengenai adanya Tuhan, Dunia dan isinya, Asal usul manusia, Manusia dan alam, dan Tuntutan untuk hidup.  Bedanya, Kejawen tidak memiliki Kitab Suci seperti Agama-agama yang ada.

Filsafat Jawa berasal dari oleh rasa dan spiritual orang Jawa sejak dahulu kala. Tuhan (Gusti kang Murbeng Dumadi) telah menaruh benih spiritual pada masing-masing manusia untuk setiap bangsa. Spiritualisme Jawa bermanfaat untuk hidup di tanah Jawa dan untuk membangun peradaban Jawa.

Jawa merupakan wilayah tropis dengan gunung vulkanis yang beragam sehingga tanahnya subur dan keanekaragaman hayati yang cukup lengkap. Tetapi tanah Jawa juga rentan terhadap bencana alam, sehingga pengertian dan nilai-nilai hidup dibangun atas pemahaman tersebut.

Jawa juga bersinergi (campur wayuh) dengan berbagai ajaran seperti Hindu, Buddha, dan Islam. Eksistensi Jawa susah dirunut karena semua bukti tertulis dan tercatat merupakan sinkritisme dengan Hindu, Buddha, dan Islam. Catatan asli tentang Jawa yang dapat dirunut adalah pasaran, wuku, mangsa, windu, dan taun serta dina pringkelan. Bukti kejawaan nampak dalam mahakarya Mahabharata dan Ramayana yang penuh dengan ide-ide Jawa, termasuk silsilah raja-raja yang berbeda dengan yang di India.

Masuknya Islam menambah kasanah filsafat Jawa dalam bentuk Layang, Suluk, dan Serta Kapunjanggan. Berisi ajaran-ajaran Tasawuf Islam yang kaya dengan unsur konseptualisme Jawa. Contohnya adalah sejarah nabi-nabi Islam yang bercampur dengan dewa-dewa. Cerita Kakawin Serat Kapunjanggan merupakan penyikapan Jawa terhadap masuknya agama baru dari luar Jawa. Jawa sangat pluralistis dan siap hidup dengan perbedaan agama dan kepercayaan. Bukannya dikooptasi, tetapi Jawa menjadi warna baru dari tiap-tiap agama impor yang masuk ke tanah Jawa.

Jawa memiliki bukti kehidupan, baik berupa fosil maupun artefak dari ribuan tahun yang lalu, tetapi Jawa juga penuh dengan artefak yang berbau agama impor.  Hal ini membuktikan bahwa Jawa adalah tempat yang nyaman untuk berkehidupan dan perkembangan budaya dan peradaban.



DASAR-DASAR FILSAFAT JAWA 

1. Kesadaran Religius
Keimanan dan kepercayaan kepada sesembahan (Tuhan Semesta Alam) yang mendasari munculnya sistem religi dan ritual penyembahan. Iman adanya Tuhan (sesembahan) yang memunculkan ritual penyembahan. Sembah Raga, Jiwa, dan Sukma, yang mencakup semua daya hidup berupa cipta, rasa, karsa, dan daya spiritual. Bertentuk Tapa Brata (Durung wenanga memuja lamun durung tapa brata).

Terdiri dari 5 bentuk:
1)      Mengurangi makan dan minum (anerima),
2)      Mengurangi keinginan hati (eling),
3)      Mengurangi nafsu birahi (tata susila),
4)      Mengurangi nafsu amarah (sabar), dan
5)      Mengurangi berkata-kata atau bercakap-cakap yang sia-sia (sumarah).

Tapa Brata bukan tata cara penyembahan seperti pada agama impor tetapi hanya sarana untuk menata kekuatan hidup (dayaning urip). Tapa Brata merupakan sifat totalitas menjalani hidup yang benar dan baik menuju kesempurnaan. Hidup yang sempurna (sukma) akan bersatu dengan Sang Sempurna (Guruning Ngadadi). Ilmu Kesempurnaan (Kawruh Kasampurnan)


2.       Kesadaran Kosmis
Menggambarkan hubungan manusia dengan alam semesta dan isinya. Mencitrakan ritual sesaji dengan falsafah sakabehing kang ana manunggal kang kapurbalan kawasesa dening Kang Murbeng Dumadi.

Hubungan manusia dan alam semesta, semua yang ada di semesta adalah satu (manunggal) yang ada berasal dari Sang Pencipta (Sukma Kawekas, Sah Hyang Wisesaning Tunggal, Sanghyang Wenang). Mendasari pengetahuan kesatuan, berupa hubungan kosmis-magis manusia dan alam seisinya.

Bentuk-bentuk ajarannya adalah:
  • Bersatunya alam kecil (mikrokosmos) dengan alam besar (makrokosmos). Alam dan seisinya, termasuk manusia adalah satu kesatuan.
  • Bapa Angkasa dan Ibu Bumi. Manusia dibangun dari unsur cahaya (cahya lan teja) dan unsur bumi (bumi, banyu, geni, lan angin utowo hawa).
  • Kakang Kawah dan Adi Ari-ari. Kelahiran berupa makhluk (Sabda Tuhan) yang tampak maupun tidak tampak. Kesadaran kesatuan akan semesta menjadikan manusia Jawa memiliki ritual Slametan dan Sesaji (caos dhahar). Sebagai contoh adalah Slametan Brokohan.

Pengetahuan mengenai kesatuan disebut dengan persatuan manusia dan Tuhan (manunggaling kawula lan Gusti). Merupakan puncak filsafat Jawa.


 3.       Kesadaran Peradaban
Pemahaman mengenai hubungan manusia dengan manusia. Berwujud ajaran: memayu hayuning pribadi, memayu hayuning kaluwarga, memayu hayuning bebyaran, memayu hayuning Negara, memayu hayuning bawana.

Manusia sebagai makhluk utama haru berhubungan dengan sesame manusia dalam keutamaan (beradab). Mewujudkan kesadasaran berintergrasi apalagi dalam bernegara.  Konsep tata tentrem kerta raharja menjadi tujuan utama. Sebagai konsep bermasyarakat dan bernegara.

Pengetahuan keutamaan merupakan ajaran untuk menciptakan dunia yang indah (memayu hayuning bawana). Untuk menciptakan dunia yang indah dibutuhkan keutamaan budi pekerti, nilai kerukunan, dan keselarasan yang menjadi nilai utama.

Menurut Prof. Dr. Branders (1889), manusia Jawa telah memiliki 10 dasar kehidupan asli yang ada sebelum masuknya agama-agama impor, yaitu: (1) pertanian, sawah, dan irigasi, (2) pelayaran, (3) perbintangan, (4) wayang, (5) gamelan, (6) batik, (7) metrum, (8) cor logam, (9) mata uang, dan (10) system pemerintahan. Budaya-budaya tersebut ada sejak Jawa kuno dan merupakan kedaulatan spiritual Jawa, filsafat yang digunakan untuk hidup di tanah Jawa, filsafat hidup lengkap di Jawa.

Sehingga, Filsafat Jawa (Kejawen) merupakan filsafat keutamaan, filsafat keselarasan, dan filsafat keberadaban untuk menciptakan hidup yang rukun, selaras, dan beradab yang berlandaskan budi pekerti dan spiritualitas yang luhur.