Sn. Kajenar

MASIH RELEVANKAH AJARAN SYEKH SITI JENAR DEWASA INI?
Oleh: Ir. Achmad Chodjim, MM
(http://gantharwa.wordpress.com/)

( Apabila ingin mengenal terlebih dahulu siapa Syekh Siti Jenar maka tautan berikut baik untuk dibaca

Tema seminar/sarasehan budaya hari ini adalah agama ageming aji, yaitu agama sebagai nilai-nilai luhur yang menjadi landasan hidup bangsa Indonesia, sesuai dengan sila pertama pada Pancasila, Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama dalam bingkai ageming aji bukanlah agama dalam arti golongan atau agama sebagai organisasi (organized religion), tetapi agama sebagai basis moralitas dan perilaku manusia.

Agama dalam arti ini pernah menjadi polemik dan perang wacana di Kepulauan Nusantara (karena Indonesia belum lahir) dan tepatnya di P. Jawa pada pertengahan abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-16.

Tokoh sentral dalam polemik dan perang wacana pada masa itu adalah Syekh Siti Jenar atau dikenal dengan nama Syekh Lemah Abang. Dia seorang guru dan pelaku spiritual yang mengajarkan agama sebagai jalan hidup dan bukan sebagai kepercayaan. Meskipun Syekh seorang muslim, tetapi ajarannya menarik berbagai pemeluk agama dan kepercayaan yang ada waktu itu. Mereka yang belajar dan menjadi murid Syekh berasal dari berbagai kalangan, baik kalangan elite (yaitu para adipati) maupun rakyat biasa. Mereka berasal dari pemeluk Hindu, Buddha, Islam, dan pemeluk kepercayaan yang berkembang di Jawa waktu itu.

Apa yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar sehingga daya tarik ajarannya luar biasa dan menyebabkan penguasa Kesultanan Demak Bintara kegerahan waktu itu? Yang diajarkan sebenarnya bukanlah hal yang asing bagi mereka yang hidup di Kep. Nusantara waktu itu. Yang diajarkan adalah paham MKG (Manunggaling Kawula Gusti), yaitu satunya hamba dengan Tuhan. Paham ini sudah ada di agama Hindu dan Buddha yang sebelum berdirinya Kesultanan Demak, dipeluk oleh mayoritas penduduk Nusantara. Paham ini diikuti oleh kalangan sufi dalam agama Islam. Bahkan, mereka yang dikenal sebagai anggota Walisanga juga berpaham MKG. Padahal, berdasarkan sejarah Walisanga yang bergelar sunan itu adalah pendukung dan penasehat Sultan Demak di zaman itu.
Meskipun Walisanga dan Syekh Siti Jenar sepaham, tetapi pada tataran implementasinya dalam kehidupan berbeda. Bagi Siti Jenar, MKG merupakan landasan, jalan dan alat untuk menjadikan manusia merdeka sejati. MKG menggerakkan manusia untuk menjadi dirinya sendiri, menjadikan manusia yang memiliki kepribadian. Inilah inti dari MKG yang diajarkan oleh Syekh Siti Jenar. Tentu pikiran semacam ini melompat terlalu jauh ke depan pada zamannya. Jangankan pada masa 500 tahun yang lalu, dewasa ini saja sebagian besar orang tidak hidup sebagai pribadi, tetapi hidup berdasarkan pikiran orang lain. Sedangkan MKG yang diajarkan oleh Walisanga lebih bersifat teoritis, dan tidak memberikan implikasi nyata dalam kehidupan masyarakat.

Ajaran MKG Siti Jenar mendobrak feodalisme yang tumbuh subur pada masa itu, sedangkan Walisanga justru melanggengkan sistem feodalisme. Syekh membangkitkan kesetaraan antara kawula (rakyat) dengan rajanya (Gusti). Walisanga melestarkan sistem rakyat menyembah raja. Syekh membebaskan orang dari belenggu ketakhayulan dan pikiran picik, sedangkan Walisanga malah menjadikan agama dan kepercayaan sebagai alat kekuasaan.

Puncak pertarungan paham berakhir ketika Sultan Patah memerintahkan Walisanga untuk menghentikan kegiatan mengajar Syekh dan pengikutnya dihancurkan. Untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak, kata peribahasa. Ajaran Syekh Siti Jenar dipadamkan meski demikian, ajaran SSJ tetap berjalan dan disampaikan secara sembunyi-sembunyi. Rakyat patuh kepada raja secara pasif, sedangkan kalangan elite berebut kekuasaan. Akibatnya, umur kerajaan tak ada yang panjang, Demak jatuh disusul dengan berdirinya Pajang, dan dalam satu generasi saja Pajang hilang dan muncul Mataram.

Karena rakyat bodoh dan elite kerajaan berebut kekuasaan, maka Mataram hanya dalam kurun waktu 50 tahun berdiri sudah goyah karena adanya infiltrasi VOC, yang akhirnya Mataram menjadi negara taklukan VOC. Hal ini saya sampaikan dalam seminar/sarasehan ini agar dapat menjadi pelajaran bagi bangsa Indonesia. Dengan memperhatikan kembali ajaran Syekh Siti Jenar kita akan dididik untuk menjadi manusia merdeka, sehingga siap untuk menahan gangguan dan ancaman asing agar bangsa Indonesia tidak terus-menerus terjajah oleh negara lain dalam segala bentuknya.

Sembilan Ajaran Pokok Syekh Siti Jenar

Sebagaimana dituturkan di atas, manusia hidup di atas bangunan opini atau pendapat orang lain. Pada umumnya manusia tidak mengetahui hakikat hidupnya sendiri, dan tidak mengetahui dengan pasti apa yang akan terjadi pada dirinya. Pikiran sebagian besar orang merupakan pendapat orang lain, sehingga kita berbicara menggunakan bahasa orang lain. Mereka yang berpengaruhlah yang telah menanamkan pengaruhnya yang berupa bahasa, perilaku, pendapat, dan sebagainya untuk membangun identitas tunggal.

Adalah Kierkegaard (seorang filosof Barat) yang menyatakan bahwa sekelompok besar orang selalu menghilangkan identitas pribadi. Oleh karena itu, sebagian besar orang yang beragama (memeluk agama resmi) biasa melakukan ritual dan menjalankan apa yang biasa dilakukan atau diharapkan oleh orang lain, tanpa penghayatan pribadi apa yang dilakukankannya. Kebanyakan orang hidup dalam kedangkalan dan formalisme kosong, dan demikianlah yang terjadi sehingga seluruh generasi terjebak dipinggiran akal budi yang berlumpur. Inilah yang menyebabkan roda kemajuan berhenti berputar.

Pendapat sebagai hasil olah pikir manusia berkembang terus, dan bila pemikiran seseorang, suatu golongan atau bangsa mandek, maka ia akan terlindas oleh perubahan yang terjadi di dunia ini. Bangsa yang pemikirannya terlindas atau tertinggal akan menemui banyak masalah dalam hidupnya, dan kenyataan itu bisa kita saksikan dewasa ini. Perhatikanlah apa yang terjadi pada negara-negara tidak maju atau sedang berkembang! Kemiskinan, kebodohan, mutu kesehatan yang rendah, serta rusaknya lingkungan hidup merupakan bukti mandeknya pemikiran.

Tanpa berpikir manusia tidaklah sama dengan hewan, tetapi malah lebih buruk daripada kehidupan hewan. Bila hewan lapar, maka secara naluri akan tertuntun menuju sumber makanan, tetapi tanpa berpikir untuk mencari makan manusia akan mengalami kematian. Oleh karena itu, manusia berandai-andai, dan perlu berasumsi. Manusia berusaha menggunakan akal-pikirannya untuk menciptakan nilai tambah pada segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Berbagai benda diberi nilai atau “aji” sesuai dengan tingkat kelangkaannya.

Pendapat apabila sudah diterima oleh suatu kelompok orang maka akan menjadi kebenaran bagi kelompok itu. Meskipun kitab-kitab suci dalam berbagai agama dikategorikan sebagai wahyu dan bukan pendapat, tetapi dalam implementasinya tetap menggunakan olah pikir alias pendapat. Dan, pendapat tentunya dimaksudkan untuk menyamankan, memudahkan, dan menimbulkan kesejahteraan umat. Itulah pendapat yang diperlukan!

Jadi, bukan kebenaran hakiki atau kebenaran harfiah suatu pendapat yang perlu diperhatikan. Yang perlu diperhatikan adalah apakah pendapat itu bisa digunakan untuk menimbulkan kesejahteraan dan kebahagiaan bagi umat manusia, minimal bagi mereka yang meyakini pendapat itu. Dan, yang perlu kita tolak adalah pendapat yang menimbulkan kezaliman, kesengsaraan dan kriminalitas bagi manusia.

Nah, ajaran pokok yang pertama dari Syekh Siti Jenar adalah tidak mengabsolutkan pendapat. Pendapat boleh diperdebatkan, akan tetapi pendapat tidak untuk melindas pendapat orang lain. Munculnya berbagai mazhab dalam berbagai agama di dunia membuktikan bahwa ajaran agama pasca pendirinya sebenarnya merupakan pendapat yang dikembangkan dari ajaran asal agama itu. Jadi, kebenaran pendapat adalah kebenaran yang dibangun atas akseptabilitas masyarakat atau komunitas tempat pendapat itu berkembang.

Ajaran pokok yang kedua adalah menjadi manusia hakiki, yaitu manusia yang merupakan perwujudan dari hak, kemandirian, dan kodrat. Hak. Kebanyakan kita berpendapat bahwa kita harus mendahulukan kewajiban daripada hak. Perhatikanlah para pejabat kita selalu menuntut rakyat untuk menjalankan kewajibannya dulu sebelum mendapatkan haknya. Warga dituntut membayar pajak, mematuhi undang-undang dan peraturan yang ditentukan oleh para elite politik, dan melaksanakan berbagai macam kepatuhan. Menurut Syekh Siti Jenar, harus ada hak hidup lebih dulu. Inilah kebenaran! Tak ada kewajiban apa pun yang bisa diberikan kepada seorang bayi yang baru dilahirkan. Oleh karena itu, begitu seorang bayi manusia dilahirkan semua hak-haknya sebagai manusia harus dipenuhi terlebih dahulu.

Tidak peduli ia dilahirkan di keluarga kaya atau miskin, hak memperoleh pengasuhan, perawatan, penjagaan, perlindungan, dan mendapatkan pendidikan harus dipenuhi. Hak-hak tersebut dipenuhi agar ia menjadi manusia yang dapat menjalankan kewajibannya sebagai anggota keluarga, masyarakat, dan negara. Dengan cara itu akhirnya ia menjadi manusia hakiki, manusia sebenarnya yang dapat berkiprah dalam kehidupan nyata, baik sebagai pribadi maupun warga sebuah negara. Salah satu unsur untuk menjadi manusia yang hidup merdeka terpenuhi.

Kemandirian. Pemenuhan hak dan kewajiban barulah tahap awal untuk menjadi manusia hakiki. Tahap berikutnya adalah mendidik, mengajar, dan melatihnya agar bisa menjadi manusia yang hidup mandiri. Ia harus diarahkan agar mampu hidup yang tidak tergantung pada orang lain. Dengan demikian, kehidupan mandiri akan tercapai bila terjadi kesalingtergantunga n antar anggota masyarakat dan sekaligus kemerdekaan (interdependence and independence) .

Perhatikanlah keadaan ekonomi masyarakat Indonesia sekarang ini. Kita amat sangat tergantung pada bantuan atau hutang luar negeri. Negara yang dilimpahi kekayaan alam yang luar biasa ini justru dihisap oleh negara-negara maju di dunia ini. Setiap bayi yang dilahirkan yang seharusnya merupakan aset negara, ternyata tumbuh menjadi manusia-manusia pencari kerja dan bahkan menjadi beban negara. Hal ini disebabkan terjadinya manusia-manusia yang tergantung pada orang lain. Hubungan yang terjadi adalah hubungan orang-orang lemah dengan orang-orang kuat. Yang lemah merasa sangat memerlukan yang kuat, sedangkan yang kuat berbuat tidak semena-mena terhadap mereka yang lemah.

Akibat dari keadaan tersebut tambah tahun pengangguran akan semakin bertambah besar. Yang menjadi gantungan relatif tetap, sedangkan yang menggatungkan diri bertambah banyak. Terjadi relasi yang tidak seimbang, sehingga kehidupan masyarakat menjadi rawan.

Kodrat. Inilah unsur berikutnya yang menopang asas hak dan kemandirian dalam kehidupan masyarakat. Kodrat pada manusia merupakan kuasa pribadi. Kodrat tidak didapat dari luar diri. Dengan demikian kodrat tidak berasal dari pelatihan dan pendididikan. Tetapi kodrat harus diberikan ruang yang kondusif agar suatu bentuk kemampuan khusus yang dianugerahkan pada setiap orang bisa terwujud. Dalam hal ini, pelatihan akan meningkatkan kualitas kodrat yang dimiliki seseorang.

Dalam psikologi kodrat dapat dikatakan hampir sama dengan talenta. Bila seseorang tidak diberikan kesempatan untuk dapat mengaktualisasikan dirinya, maka kodratnya kemungkinan besar tak akan terwujud. Padahal, kodrat yang ada pada diri seseorang itulah yang bisa menjadi sarana untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya. Bila setiap orang bisa mewujudkan kodratnya, maka akan terwujud hubungan yang saling memberikan dan sekaligus saling membutuhkan. Setiap orang akan memiliki nilai tawar bagi orang lain.

Harmonisasi dan ikatan antar warga negara akan menguat bila sebagian besar penduduknya bisa mewujudkan ketiga unsur manusia hakiki tersebut. Keragaman masyarakat pun kecil dan kesenjangan ekonomi dapat dinihilkan. Akhirnya jati diri manusia akan muncul dengan sendirinya, dan kita akan menjadi bangsa yang kokoh dan tidak mudah diprovokasi.

Ajaran pokok Syekh yang ketiga adalah hubungan antara satu orang dengan orang lain merupakan hubungan kodrat dan iradat. Hubungan satu orang dengan orang lain bagaikan hubungan kerja dalam satu tim, sehinga tidak terjadi hubungan posisi yang memerintah dan yang diperintah. Tak ada hubungan kekuasaan. Antara manusia yang satu dengan yang lain terikat oleh kodrat dan iradatnya, sehingga seperti hubungan sel yang yang satu dengan sel lainnya dalam satu tubuh, dan hubungan organ yang satu dengan organ lainnya dalam satu tubuh.

Kalau kita amati cara kerja organ-organ dalam tubuh manusia, maka kita akan ketahui bahwa masing-masing organ (seperti otak, penglihatan, penciuman, pendengaran, paru-paru, jantung, hati, ginjal, usus, dan lain-lain) akan bekerja sama, dan masing-masing menjalankan peranannya. Seharusnya kehidupan masyarakat manusia juga demikian. Dengan mewujudkan masyarakat yang berupa kumpulan manusia-manusia hakiki, masing-masing orang atau kelompok menjalankan fungsinya dengan benar, maka akan terbentuk kehidupan yang sehat dan tidak terjadi penghisapan antara orang yang satu terhadap orang lainnya. Inilah kehidupan dunia yang didambakan oleh Syekh Siti Jenar, yang justru sekarang tumbuh dan berkembang di negara maju.

Ajaran pokok yang keempat: segala sesuatu di alam semesta ini adalah satu dan hidup. Dalam salah satu pupuhnya disebutkan bahwa bumi, angkasa, samudra, gunung dan seisinya, semua yang tumbuh di dunia, angin yang tersebar di mana-mana, matahari dan rembulan, semuanya merupakan keadaan hidup. Jadi, semua yang ada merupakan wujud kehidupan.

Menurut Syekh Siti Jenar yang dinamakan makhluk hidup adalah kehidupan yang terperangkap dalam alam kematian. Zat mati tak akan dapat menimbulkan kehidupan, sedangkan zat hidup tak akan tersentuh kematian. Tuhan disebut zat yang mahahidup karena Dia eksis karena Diri-Nya sendiri. Kekuatan hidup-Nya mengalir dalam alam kematian sehingga muncul sebagai makhluk hidup. Sekarang bandingkan dengan tulisan-tulisan dari Barat dewasa ini, akan kita temukan pernyataan mereka bahwa semuanya satu, semuanya hidup. Dengan demikian, pandangan Syekh Siti Jenar luar biasa. Banyak pandangannya yang justru bersesuaian dengan pandangan kaum teosofi maupun para spiritualis dari Barat.

Bila kita menyadari bahwa lingkungan kita adalah keadaan yang hidup, maka tentu kita akan memperlakukan lingkungan kita dengan sebaik-baiknya karena kita dan lingkungan kita sebenarnya satu dan sama-sama sebagai keadaan yang hidup. Bila kita menyadari tentu kita akan berhati-hati dalam memperlakukan lingkungan kita.

Ajaran pokok yang kelima: pemahaman tentang ilmu sejati. Dikisahkan dalam Serat Siti Jenar yang ditulis oleh Aryawijaya: Sejati jatining ngèlmu, lungguhé cipta pribadi, pustining pangèstinira, gineleng dadya sawiji, wijanging ngèlmu dyatmika, nèng kahanan eneng ening. Hakikat ilmu sejati itu terletak pada cipta pribadi, maksud dan tujuannya disatukan adanya, lahirnya ilmu unggul dalam keadaan sunyi dan jernih.

Menurut Syekh Siti Jenar manusia haruslah kreatif karena manusia telah diberi anugerah oleh Yang Mahakuasa untuk dapat mengaktualisasikan ilmunya yang berasal dari dalam dirinya sendiri. Jadi, ilmu sejati bukanlah ilmu yang kita terima dari orang lain. Yang kita dapatkan melalui indra, pengajaran dari orang lain, itu hanyalah refleksi ilmu. Dan, ternyata sejak abad ke-20 pemahaman bahwa ilmu lahir dari kedalaman batin telah menjadi pemahaman yang universal. Itulah sebabnya orang-orang Barat tekun dalam melakukan perenungan dan pengkajian terhadap tanda-tanda di alam semesta.

Jadi, harus ada suasana kondusif bagi orang-orang yang mendalami ilmu pengetahuan. Suasana kondusif bagi ilmuwan adalah iklim kerja yang membuat ilmuwan tersebut dapat bekerja dengan tenang, nyaman, dan bebas dari berbagai penyebab kekalutan dan kesulitan. Dan, tentunya hak-hak untuk dapat menjadi ilmuwan sejati haruslah dipenuhi. Ingat, setiap orang telah diberi potensi dan talenta yang disebut kodrat. Dan, bagi mereka yang memiliki kodrat untuk menjadi ilmuwan harus disediakan iklim kerja yang kondusif sehingga bisa menghasilkan hal-hal yang dibutuhkan manusia.

Ajaran pokok yang keenam: umumnya orang hidup saling membohongi. Banyak hal yang sebenarnya kita sendiri tidak tahu, tapi kita menyampaikannya juga kepada teman-teman kita. Hal ini banyak sekali terjadi dalam ajaran agama. Banyak orang yang sekadar hafal dalil, tetapi sebenarnya dia tidak mengetahui apa yang dimaksud oleh dalil itu. Akhirnya pemahaman yang keliru itu menyebar dan terbentuklah opini yang salah.

Masyarakat yang dipenuhi dengan pemahaman dan opini yang salah sama dengan masyarakat yang dipenuhi sampah. Masyarakat demikian pasti rawan terhadap serangan penyakit. Oleh karena itu, masyarakat harus dibebaskan dari berbagai macam kebohongan. Masyarakat harus diajar dan dididik untuk memahami segala sesuatu seperti apa adanya.

Agar tidak hidup saling membohongi manusia harus kembali mengenal dirinya. Setiap orang harus dididik untuk menyadari perannya dalam hidup ini. Para cerdik cendekia harus mengerti fungsinya di dunia. Orang harus diajar untuk bisa mengerti dunia ini sebagaimana adanya. Agama harus diajarkan sebagai jalan hidup dan bukan alat untuk meraih kekuasaan. Oleh karena itu, keimanan harus diajarkan dengan benar dan bukan sekadar diajarkan sebagai kepercayaan. Iman harus diajarkan sebagai penghayatan, pengalaman, dan pengamalan kebenaran.

Ayat-ayat kitab suci harus dipahami berdasarkan kenyataan, dan tidak diindoktrinasikan serta diajarkan secara harfiah sesuai dengan asal kitab suci tersebut. Agama harus diajarkan secara arif dan bisa dibumikan, tidak terus menggantung di langit. Agama harus diterjemahkan dalam bentuk yang dapat dipahami dan dipraktikkan oleh masyarakat penerimanya.

Ajaran pokok yang ketujuh: Nama Tuhan diberikan oleh manusia. Lima ratus tahun yang lalu Syekh telah menyatakan dengan tegas bahwa manusialah yang memberikan nama pada Tuhan. Oleh karena itu, nama bagi Tuhan bermacam-macam sesuai dengan bahasa dan bangsa yang menamai-Nya. Dan, perlu diketahui bahwa Tuhan sendiri sebenarnya tidak perlu nama, karena Dia hanya satu adanya. Sesuatu diberi nama karena untuk membedakan dengan sesuatu lainnya. Nama diberikan agar kita tidak keliru tunjuk atau salah sebut.

Bagi Syekh Siti Jenar, apapun sebutan yang diberikan kepada-Nya haruslah sebutan yang terpuji, yang baik, yang pantas. Bahkan dalam Alquran dinyatakan dengan tegas pada Q. 7:180 bahwa manusia diperintah untuk memohon kepada-Nya dengan nama-nama baik-Nya, atau al-asmâ-u l-husnâ. Dan, pada Q.17:110 dinyatakan bahwa Dia dapat diseru dengan nama Allah, Ar Rahman, atau dengan nama-nama baik-Nya yang lain.

Sungguh, sangat mengherankan bila di zaman sekarang ini kita berebut nama Tuhan. Secara teoritis umat Islam dididik untuk meyakini bahwa Tuhan itu Yang Maha Esa. Tetapi, dalam kenyataannya sebagian orang Islam (seperti yang terjadi di Malaysia)  malah meminta orang yang beragama lain untuk tidak menggunakan lafal Allah bagi sebutan Tuhan pada agama lain tersebut. Inilah pemahaman yang salah! Kalau kita (yang Muslim) menolak pemeluk agama lain menyebut Allah bagi Tuhannya, maka secara tak sadar kita mengakui bahwa Tuhan itu lebih dari satu.

Sudah waktunya kita ajarkan ketuhanan dengan benar sehingga kita tidak berebut tulang tanpa isi. Kita harus menyadari sepenuhnya bahwa mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar itulah yang amat penting dalam hidup ini. Bagi orang Indonesia , menghayati dan mengamalkan nilai-nilai ketuhanan dengan benar merupakan penegakan Sila yang pertama.

Ajaran pokok yang kedelapan: raja agama sesungguhnya raja penipu. Sebagaimana telah diterangkan bahwa agama adalah jalan hidup. Oleh karena itu, agama harus diajarkan untuk menjadi jalan hidup, sehingga pemeluk agama bisa hidup tenang, bahagia dan bersemangat dalam menjalani hidup. Agama harus diajarkan untuk menjadi landasan moral dan perilaku, sehingga agama benar-benar sebagai nilai luhur dan menjadi rahmat bagi semesta alam.

Syekh tidak ingin membohongi masyarakat Jawa, oleh karena itu agama islam diajarkan dengan cara yang pas bagi bumi dan manusia Jawa. Untuk hal itu diperlukan penafsiran, dan tidak disebarkan dalam bentuk budaya asalnya. Agama tidak disebarkan dengan kekuasaan raja, sebab menurut Syekh raja yang memanfaatkan agama adalah raja penipu. Sering terjadi bahwa untuk memenuhi kepentingan penguasa, agama dijadikan alat menguasai rakyat. Agama yang seharusnya dikuasai oleh rakyat, yang terjadi justru sebaliknya yaitu rakyat yang dikuasai oleh agama.

Jika di Eropa pada abad ke-19 orang-orang mulai mempertanyakan peranan agama, dan bahkan ada yang memandang bahwa agama sebagai candu bagi masyarakat dan harus disingkirkan dari gelanggang kehidupan bernegara, maka empat ratus tahun sebelumnya Syekh Siti Jenar justru ingin menerapkan agama sebagai penyegar dan pencerah bagi pemeluknya. Oleh karena itu, agama diajarkan tanpa melibatkan kekuasaan negara. Di sinilah Syekh bertabrakan dengan kepentingan Walisanga.

Syekh amat sadar bahwa di dunia ini penuh dengan tipu daya. Hampir di semua negara pada waktu itu terjadi relasi keuasaan antara raja/penguasa dengan para tokoh agama. Dengan kata lain, raja dan tokoh agama berbagi kekuasaan. Yang dikuasai dan yang dijadikan pijakan hidup oleh raja dan tokoh agama adalah rakyat. Inilah yang oleh Syekh disebut sebagai penipuan. Oleh karena itu, sudah waktunya agar agama benar-benar menjadi milik masyarakat, dan negara tidak mengurusi agama. Yang diurusi oleh negara adalah tegaknya hukum positif, perlindungan bagi setiap orang tanpa memandang agama dan kepercayaannya. Yang diurusi oleh negara adalah kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Ajaran pokok yang kesembilan: segala sesuatu di alam semesta adalah Wajah-Nya. Inilah ajaran puncak dari Syekh Siti Jenar. Dunia adalah manifestasi wujud yang satu, dan hakikat keberadaan bukanlah dualitas. Sehingga, kemana pun kita hadapkan diri kita, maka sesungguhnya kita senantiasa menghadap Wajah-Nya. Semua adalah penampakan Wajah-Nya. Sekarang marilah kita cicipi dua bait puisi dari Syekh Siti Jenar.

Bersanggama dalam keberadaan
diliputi yang ilahi
hilanglah kehambaannya
lebur lenyap sirna lelap
digantikan keberadaan Ilahi
kehidupannya
adalah hidup Ilahi

Lahir batin keberadaan sukma
yang disembah Gusti
Gusti yang menyembah
sendiri menyembah-disembah
memuji-dipuji sendiri
timbal balik
dalam hidup ini

Jadi, pada puncak perenungan dan keheningan diri terjadilah penegasian eksistensi diri yang terkurung raga. Ditegaskan bahwa kehambaan telah lenyap, sudah hilang. Bila kehambaan masih tetap eksis maka di alam semesta ini masih berada dalam keadaan dualitas. Keadaan inilah yang menyebabkan orang terpisah dengan Tuhannya, meskipun secara konseptual diketahui bahwa Sang Pencipta lebih dekat daripada urat lehernya. Akan tetapi, selama keadaan dualitas belum sirna maka secara faktual Tuhan masih jauh daripada urat lehernya, karena Tuhan dianggap berada di luar dirinya.

Ada dualitas artinya kita mengakui ada dua keberadaan, yaitu ada yang inferior (keberadaan yang kualitasnya lebih rendah) dan ada yang superior (keberadaan yang kualitasnya lebih tinggi). Jika demikian, kedua jenis keberadaan itu tumbuh melalui proses. Semua yang tumbuh melaui suatu proses, bukanlah keberadaan yang kekal. Dan, bilamana tiada keberadaan yang kekal, maka tak mungkin ada fenomena atau penampakan di alam semesta.

Kita hidup di dunia ini karena kita kanggonan (didiami) urip (hidup) yang diberikan oleh Tuhan. Namun, badan jasmani ini hanyalah fenomena yang terikat oleh ruang, waktu, situasi psikologis. Hakikatnya badan jasmani ini tidak ada karena badan jasmani ini seperti gambar yang menumpang di layar perak atau layar kaca. Kalau layar digulung atau dimatikan ya lenyaplah fenomena tersebut. Jadi, memang benar bahwa dunia ini panggung sandiwara, dan kita adalah pemain-pemain sandiwara. Oleh karena itu, kita harus dapat memainkan peran kita masing dengan baik.

Lalu, apa sasaran utama pelenyapan dualitas? Sasaran pokoknya adalah menumbuhkan kesadaran akan ke-Satu-an, Oneness, dalam kehidupan ini, baik kehidupan kita sebagai individu maupun secara kolektif. Dengan lenyapnya perasaan dualitas dalam hidup ini, maka jarak antara kawula dan Gusti akan hilang. Akan lahir individu-individu yang menjadi dirinya sendiri, dan dalam kehidupan sosial akan tercipta interaksi antar warganya secara tim, sehingga semua akan memenuhi fungsinya masing-masing dalam kehidupan. Sekat antara pemimpin dan yang dipimpin akan hilang, dinding penyekat antara raja dan rakyatnya akan runtuh. Bila ini sudah terjadi, maka tak akan ada lagi eksploitasi terhadap sesama manusia.

Pelenyapan sekat antara kawula (hamba, rakyat, atau bawahan) dan Gusti (raja, pemimpin, atau atasan) akan melahirkan satu keberadaan yang disebut Manunggaling Kawula Gusti. Keberadaan MKG ini akan menggugurkan kehidupan yang berkasta dan merontokkan feodalisme. Relasi sesama manusia berupa simbiose mutualisme, yaitu hubungan yang saling menguntungkan. Sesama manusia hidup dalam suasana liberte, egalite dan fraternite, yaitu hidup dalam kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan antara sesama manusia di dunia ini. Dari sinilah Syekh membangun hubungan warga dengan wadah yang disebut masyarakat, yang tidak dijumpai di Timur Tengah pada waktu itu.

Memang masyarakat merupakan kosa kata yang dibentuk dari unsur-unsur kata Arab, yaitu dari syarika yang artinya menjadi sekutu; dan masyarakat adalah kumpulan orang-orang yang bersekutu. Jadi, setiap anggota masyarakat itu seperti sel-sel tubuh yang independen, namun selalu berinteraksi sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing. Setiap anggota masyarakat mengetahui tugasnya. Terciptalah jalinan kasih. Inilah surga yang sesungguhnya yang harus diwujudkan di dunia ini. Dengan demikian, konsep MKG sebenarnya untuk menciptakan kehidupan bersama dalam mencapai kejayaan!

Achmad Chodjim

Jakarta, 21 Mei 2009 Kediaman Bpk. Achmad Chodjim, materi ini juga di sampaikan di Hotel Indonesia Kempinski-Grand Indonesia, 19 Mei 2009

*) Ir. Achmad Chodjim MM, adalah penulis buku “Syekh Siti jenar: Makna Kematian (jilid 1)”, “Syekh Siti Jenar: Makrifat dan Makna Kehidupan (jilid 2)” dan “Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga”.


(Tulisan ini tidak sampai disini saja, tetapi masih banyak yang akan penulis tambahkan yaitu mengenai tanggapan-tanggapan tulisan ini, namun demikian harus melalui pengeditan terlebih dahulu, maka untuk itu belum dapat dimuat sekarang. Terimakasih dan salam Kejawen, Rahayu!)